Saturday, 31 March 2018 18:52

KRISIS UDARA BERSIH

Pencemaran Udara, Krisi Air Bersih dan Antisipasi Perubahan Iklim:

Car Free Day sebagai Pembelajaran Peningkatan kualitas Udara Perkotaan dalam menyongsong perhelatan Asian Games 2018

Pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup hendaknya dalam kondisi keseimbangan pada setiap sisi pembangunan berkelanjutan.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memberikan keuntungan yang besar kepada pelaku ekonomi dan diharapkan akan menetes pula kepada masyarakat luas.  Namun pertumbuhan tanpa memperhatikan perlindungan lingkungan hidup hanya akan menimbulkan dampak negatif baik berupa pencemaran lingkungan maupun penipisan cadangan sumber daya alam, di mana pada gilirannya masyarakat Indonesia harus membayar mahal dipandang dari segi kesehatan dan kesejahteraannya.  Kecenderugan pertumbuhan yang mengabaikan perlindungan lingkungan hidup tersebut, secara faktual telah kita alami di negeri tercinta ini, sekalipun secara struktural dan yuridis kita memiliki perangkat kelembagaan dan peraturan perundangan yang dibuat agar mampu melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup. 

 

Namun mengingat perspektif pembangunan masih belum mampu menginternalisasikan perlindungan lingkungan hidup ke dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, maka umumnya masyarakat menganggap lumrah ketika menyaksikan fakta kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam.  Termasuk tatkala menyaksikan fakta hasil pemantauan kualitas udara ambient di salah satu kota besar di Indonesia (Jakarta, misalnya) rata-rata tertinggi tahunan untuk parameter NOx, SO2, PM10 dan O3 masing-masing adalah 120 mg/m3, 28mg/m3, 81 mg/m3, dan 42 mg/m3.  Kecuali SO2, semua parameter tersebut telah melampaui baku mutu kualitas udara ambient.   Data resmi pun menyebutkan bahwa pada setiap tahunnya kita hanya menikmati udara sehat selama 81 – 100 hari.  Dan tentu fakta tersebut telah pula menyebabkan berbagai penyakit dan sakit yang harus diderita oleh masyarakat di DKI Jakarta sehingga menurut perhitungan pada tahun 2012 yang lalu masyarakat DKI Jakarta harus membayar beban social sebesar Rp 3, 85 trilyun

Lumrah dan tidak mengejutkan tatkala sehari-hari masyarakat menyaksikan menghitamnya air sungai, menggunungnya onggokkan sampah, tercemarnya udara jalanan, bisingnya deru mesin pabrik, asinnya air sumur, menyempitnya hijauan kota, hilangnya bakau di pesisir, lenyapnya benur di muara, raibnya burung migrant di Pesisir Jakarta, menyusutnya belantara Kalimantan, raungan truk sarat muatan balok di perbatasan Serawak, tercemarnya teluk oleh logam berat, dan seterusnya.

Suatu kelumrahan pula, tatkala masyarakat merasakan gatalnya kulit tanpa tahu sebab, perihnya tenggorokkan kala menenggak air, sesaknya dada saat bernafas, bencana banjir bandang, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, gagal panen, dan berbagai hal lain yang benar-benar mereka tidak pernah memahami apa penyebabnya.  Di lain pihak, masyarakat juga acuh tak acuh saja seolah tidak pernah belajar dari pengalaman sehingga kejadian demi kejadian yang menyebabkan kerusakan lingkungan terus berlangsung. 

Pakar lingkungan hidup menerangkan bahwa itulah sebenarnya dampak situasi memburuknya situasi sekitar yang kita saksikan sehari-hari seperti digambarkan di atas.  Itulah dampak dari penurunan kualitas lingkungan hidup akibat aktivitas manusia tanpa mempertimbangkan upaya mengelola potensi dampak. 

Fakta lain (masih di Jakarta) menyebutkan bahwa 30% dari 7.500 ton sampah setiap hari tidak terangkut dan tidak terolah, bahkan yang terangkut ke lokasi pembuangan akhir pun tidak terolah dengan baik sehingga merusak air tanah, air permukaan, pertanian, menjadi sarang lalat/tikus dan lain-lain.  Juga, exploitasi cadangan air tanah semakin menggila dan dilakukan secara illegal.  Pencemaran klorin, merkuri, timah hitam, e-coli terjadi di mana-mana.  Limbah-limbah  industri umumnya tidak kasad mata, terkecuali dari segi warna kehitaman hingga hitam pekat dan bau. Kadar Merkuri (Hg) dikawasan muara Angke, untuk wilayah muara kadar Hg telah mencapai 0.027 ppm (dasar), sementara di kawasan Ancol kadar Hg di pemukaan muara sungai berkisar antara 0,0068 sampai dengan 0,24 ppm. Bahkan kawasan yang relatif jauh dari pesisir Teluk Jakarta misalnya lepas pantai P Air Besar pun permukaan telah tercemar 0,011 ppm, bahkan sumur di P. Pramuka telah terkontaminasi hingga 0,036 mg/l dan P. Panggang 0,026 mg/1.  Padahal nilai ambang batas untuk Hg adalah 0, 005 ppm. Dengan demikian dalam keadaan fisik sungai-sungai di DKI Jakarta dan khususnya kawasan muara dan teluk Jakarta telah tercemar jauh dari nilai ambang batas. 

Tentu masyarakat Indonesia tidak ingin bahwa kejadian yang selalu berujung pada bencana tersebut berlanjut terus.   Bencana yang bersumber dari masalah urban environment (krisi air bersih, pengelolaan sampah, pencemaran udara dan tanah, dan krisi pengelolaan tata ruang) dan dampak perubahan iklim (climate change), harus diantisipasi dan dicegah. 

Upaya untuk mencegah harus diusahakan melalui berbagai kesempatan seperti proses dialog edukatif, peningkatan wawasan dan menemukan solusi serta membangun komitmen pelestarian lingkungan hidup, termasuk memanfaatkan momentum kehadiran tamu dari perhelatan Asian Games di tahun 2018 serta mendorong menjadikan  pelaksanaan car free day sebagai salah satu triger  / stimulus dalam meningkatkan perbaikan kualitas udara perkotaan .

Informasi

Siaran Pers

Kabar Berita