Friday, 04 May 2018 16:04

Stop Politisasi CFD! Kembalikan ke Khittah-nya

Thamrin School   KPBB   CFD

Car Free Day Indonesia

Press Release

 

 

Stop Politisasi CFD! Kembalikan ke Khittah-nya!

 

Salam lestari,

 

Car Free Day (CFD) atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) adalah kebijakan publik hasil dari perjuangan yang panjang dalam rangka meningkatkan kualitas udara perkotaan dengan mengurangi ketergantungan masyarakat pada penggunaan kendaraan bermotor.  Kemudian CFD hadir tidak hanya di Jakarta tetapi juga di berbagai kota lain dalam menyediakan ruang publik untuk kegiatan-kegiatan sosial yang positif di hari Minggu.  Sayangnya, CFD kemudian juga mengalami beberapa tantangan, seperti memendeknya jam, gangguan keamanan hingga membludaknya pedagang kaki lima yang kurang tertib. Yang terbaru, CFD telah dijadikan ajang politik praktis yang jauh mendahului masa kampanye.  Dampaknya adalah pergesekan antar- massa pendukung yang apabila dibiarkan akan menjadikan CFD tidak lagi aman, nyaman dan berfungsi sebagai perekat bangsa; juga semakin menjauhkan CFD dari tujuan semula.

 

Ahmad Safrudin, salah satu inisiator CFD dari Koalisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan CFD di Provinsi DKI Jakarta tepatnya di ruas Jalan Sudirman Thamrin pada tanggal 22 dan 29 April 2018; sebagaimana telah diatur pada PERGUB No 12/2016 tentang HBKB Pasal 7 jo PERDA No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara—sebagai bentuk penerapan dari UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.  Pun masyarakat juga mengeluhkan pelanggaran ketentuan pelaksaan kegiatan CFD tersebut antara lain penggunaan atribut dukungan dan atau penggunaan atribut penolakan terhadap sosok yang mengindikasikan adanya kegiatan politik praktis dan atau kegiatan partai politik di area CFD.

 

Konsistensi penerapan CFD yang telah dimandatkan oleh PERDA No 2/2005 adalah modal utama dalam membangun karakter masyarakat guna berkontribusi mengendalikan pencemaran udara dengan cara mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor dan menciptakan ruang public yang inklusif melalui langkah-langkah:

  1. Menjaga netralitas penyelenggaraan CFD dari kegiatan politik praktis oleh partai politik dan atau kandidat peserta PEMILUKADA, PILEG, PILPRES maupun oleh para pendukungnya;

  2. Menjaga suasana harmonis antar-kelompok masyarakat, dan keluar dari sekat-sekat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan);

  3. Mengefektifkan ruang publik CFD bagi kegiatan masyarakat untuk berolah-raga, berkesenian, menampilkan kreasi budaya, bertegur sapa/bersosialisasi sesama warga, berekreasi, permainan rakyat, meeting point, pembelajaran dalam bidang lingkungan hidup, ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan sosial, dan lain-lain;

  4. Mendorong perbaikan traffic management dan kebijakan low emission zone dalam pengelolaan kota yang modern dan inklusif;

  5. Memastikan suasana CFD sebagai media perekat kebangsaan yang berbhineka tunggal ika.

 

Ari Mochamad, juga salah seorang inisiator CFD, menyesalkan bahwa pelaksanaan CFD pada tanggal 22 dan 29 April 2018 telah direbut dari posisi CFD sebagai ruang publik yang harmonis; tempat beraktivitas olah raga, bersosialisasi dan media kampanye lingkungan hidup yang netral dari berbagai kepentingan politik.  “Kami juga menyesalkan tiadanya tindakan oleh Pimpinan dan aparat PEMDA DKI Jakarta serta POLRI c.q. POLDA Metro Jaya untuk menertibkan kegiatan yang melanggar ketentuan pelaksaan CFD tersebut.”

Sementara itu, Ahmad Safrudin menambahkan bahwa CFD yang mulai diselenggarakan pada 22 April 20111 diinisiasi untuk mengajak   masyarakat   turut   mengendalikan   pencemaran   udara   dengan   mengurangi ketergantungan   penggunaan kendaraan bermotor dalam mobilitas atau perjalanan mereka sehari-hari –baik ke sekolah, bekerja, belanja, atau bersantai ke tempat-tempat hiburan/wisata– dengan cara-cara:

  • Berjalan kaki (untuk menempuh jarak pendek 1 - 3 km)
  • Penggunaan  Non-Motorized  Transport  (kendaraan  tidak  bermotor  seperti,  sepeda  dll  untuk  menempuh  jarak menengah 3 - 7 km)
  • Penggunaan angkutan umum masal (untuk menempuh jarak jauh).

 

Dengan mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor, maka pencemaran udara dan kemacetan lalu lintas dapat diturunkan.   Restiti Sekartini, juga salah seorang penggagas CFD, menyampaikan bahwa, pencemaran udara telah menjadi  ancaman  serius  bagi  masyarakat  terutama  mereka  yang  tinggal  di  kawasan  perkotaan  dengan  kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.   “WHO telah merilis laporan bahwa pada 2014 diestimasikan seperdelapan kematian umat manusia di seluruh dunia atau sekitar 8 juta jiwa per tahun meninggal akibat terpapar pencemaran udara.   Dari jumlah itu, 68.000 jiwa terjadi (meninggal) di Indonesia, yang artinya setiap hari 165 orang meninggal karena pencemaran udara.   Di Jakarta sendiri 57,8% warganya menderita sakit/penyakit akibat terpapar pencemaran udara, sehingga harus membayar biaya berobat mencapai Rp38,5 triliun.”   Kini, pencemaran udara memang sudah menjadi risiko terbesar di dunia yang mengancam kesehatan lingkungan.

Demikian halnya kemacetan lalu lintas, telah menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial akibat pemborosan bahan bakar, memperberat beban pencemaran udara dan hilangnya waktu produktif.  Kerugian ekonomi dan sosial ini mencapai angka yang dramatis di Jakarta misalnya mencapai Rp 28 Triliun/tahun, sementara di Bandung angkanya telah mencapai Rp3 triliun/tahun.   Karena kemacetan, maka kecepatan lalu lintas di Jakarta menjadi di bawah 17  km per jam, jauh dari kecepatan ideal 50 km per jam.

Selain itu, CFD kemudian juga mengalami beberapa tantangan, seperti memendeknya jam, gangguan keamanan hingga membludaknya pedagang kaki lima yang kurang tertib.  Ari Muhammad menyerukan “CFD ini sebetulnya bukan Sunday Market sehingga tidak dapat dengan bebas digunakan untuk kegiatan berdagang, pemasaran dan promosi yang melanggar esensi dari mandatnya sebagaimana ditetapkan pada regulasi.   Sekalipun tidak dilarang kegiatan sosial ekonomi yaitu berdagang bagi usaha kecil dan menengah (PKL) dan kegiatan pemasaran maupun promosi, namun demikian usaha-usaha ini harus tunduk pada ketentuan pelaksanaan mengacu pada ketentuan PERDA dan PERGUB tersebut.”

Fakta menunjukkan bahwa kegiatan berdagang, pemasaran dan promosi di area CFD terutama di Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin sudah sedemikian melanggar ketertiban dan kenyamanan.   PKL, warung tenda, mobil toko dan berbagai kegiatan bisnis maupun sosial mengambil jalur jalan dan trotoar untuk dijadikan lapak dan lahan berdagang, berkegiatan, pemungutan sumbangan, pemasaran, promosi, lahan parkir, dan lain-lain yang sebetulnya melanggar ketentuan ketertiban dan norma kenyamanan dan estetika bahkan amat sangat mengabaikan hak-hak orang lain yang sedang bersepeda, berjalan kaki, jogging (berlari), bersosialisasi dan kegiatan lainnya yang menjadi tujuan CFD.  Hal ini telah menjadikan wajah buruk penyelenggaraan  CFD  belakangan:  kegiatan  barbar,  tidak  tertata,  dan  bahkan  mengandalkan  kekuatan  otot  yang menguasai area CFD.

Alfred Sitorus, penggagas dan pegiat CFD hingga sekarang menyampaikan catatan, “Tahun 2018 ini adalah adalah tahun ke-17 penyelenggaraan CFD di Jakarta.  Penyelenggaraannya menjadikan environmental public event yang telah menjadi trend setter bagi penyelenggaraan CFD di lebih dari 200 kota di Indonesia, bahkan diikuti kota-kota di negara lain seperti Manila, Bangkok, Kathmandu, Singapura, dan Kuala Lumpur.”

Konsistensi penyelenggaraan CFD harus menjadi komitmen bersama dan ini hanya bisa terwujud apabila kita semua, seluruh masyarakat,  seluruh unsur negara menghormati ketentuan pelaksanaan  CFD sebagaimana telah diundangkan dalam peraturan-perundangan sebagai tersebut di atas.

Pengabaikan  ketentuan  pelaksanaan  CFD  yang  ditunjukkan  selama  ini,  dengan  titik  kulminasinya  gesekan  massa pendukung politik praktis adalah sebuah kemunduran atau set-back dan bersifat kontraproduktif terhadap upaya membangun karakter masyarakat perkotaan berkelanjutan melalui misi CFD.  Masuknya unsur kepentingan politik praktis ke dalam area dan waktu CFD dikhawatirkan bisa menjadi benih perpecahan bangsa apabila dibiarkan. Sudah seharusnya Presiden mengawal langkah Gubernur DKI Jakarta dalam mengembalikan CFD ke khittah-nya dengan cara melibatkan INTELPAM POLDA METRO JAYA dan SKPD guna mengantisipasi dan menindak tegas penggunaan CFD sebagai arena politik praktis serta pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Jadi, mari hentikan politisasi HBKB, kembalikan CFD ke khittah-nya.

 

 

Jakarta, 4 Mei 2018

Salam hormat,

Inisiator Car Free Day:

 

Ahmad Safrudin,       Alfred Sitorus,       Ari Muhammad,       Restiti Sekartini,

 

 


1  Penyelenggaraan CFD yang sedianya dilakukan pada 22 April 2001 ini gagal, karena banyak kendaraan bermotor masuk ke area CFD, dan baru berhasil mulai 22 September 2002.

More in this category: « Undangan Stop Politisasi CFD

Informasi

Siaran Pers

Kabar Berita